Senin, 17 Desember 2012

faktor penyebab kemunduran negara islam


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Kemajuan-kemajuan Eropa dalam teknologi militer dan industri perang membuat Kerajaan Usmani menjadi kecil di hadapan Eropa. Akan tetapi, nama besar Turki Usmani masih membuat Eropa Barat segan untuk menyerang atau mengalahkan wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Islam ini, termasuk daerah-daerah yang berada di Eropa Timur. Namun, kekalahan besar Kerajaan Usmani dalam menghadapi serangan Eropa di Wina tahun 1683 M membuka mata Barat bahwa Kerajaan Usmani telah mundur jauh sekali. Sejak itulah Kerajaan Usmani berulangkali mendapat serangan-serangan besar dari Barat.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apakah penyebab kemunduran kerajaan Usmani?
2.      Faktor apakah yang menyebabkan kedatangan Eropa ke Negeri Muslim?
3.      Faktor apa sajakah yang menyebabkan bangkitnya nasionalisme didunia Islam?

C.    TUJUAN PEMBAHASAN
1.      Agar siswa mengetahui penyebab kemunduran kerajaan Usmani
2.      Agar siswa mengetahui Faktor yang menyebabkan kedatangan Eropa ke Negeri Muslim
3.      Agar siswa mengetahui Faktor yang menyebabkan bangkitnya nasionalisme didunia Islam








BAB II

PEMBAHASAN


A.    PENYEBAB KEMUNDURAN KERAJAAN USMANI

Kemunduran Turki Usmani terjadi setelah wafatnya Sulaiman Al-Qonuni. Hal ini disebabkan karena banyaknya kekacauan yang terjadi setelah Sultan Sulaiman meninggal diantaranya perebutan kekuasaan antara putera beliau sendiri. Para pengganti Sulaiman sebagian besar orang yang lemah dan mempunyai sifat dan kepribadian yang buruk. Juga karena melemahnya semangat perjuangan prajurit Usmani yang mengakibatkan kekalahan dalam mengahadapi beberapa peperangan. Ekonomi semakin memburuk dan system pemerintahan tidak berjalan semestinya.
Selaim faktor diatas, ada juga faktor-faktor yang menyebabkan kerajaan Usmani mengalami kemunduran, diantaranya adalah :
 
1. Wilayah Kekuasaan yang Sangat Luas
      Perluasan wilayah yang begitu cepat yang terjadi pada kerajaan Usmani, menyebabkan
pemerintahan merasa kesulitan dalam melakukan administrasi pemerintahan, terutama pasca pemerintahan Sultan Sulaiman. Sehingga administrasi pemerintahan kerajaan Usmani tidak beres. Tampaknya penguasa Turki Usmani hanya mengadakan ekspansi, tanpa mengabaikan penataan sistem pemerintahan. Hal ini menyebabkan wilayah-wilayah yang jauh dari pusat mudah direbut oleh musuh dan sebagian berusaha melepaskan diri.

  2. Heterogenitas Penduduk
Sebagai kerajaan besar, yang merupakan hasil ekspansi dari berbagai kerajaan, mencakup Asia kecil, Armenia, Irak, Siria dan negara lain, maka di kerajaan Turki terjadi heterogenitas penduduk. Dari banyaknya dan beragamnya penduduk, maka jelaslah administrasi yang dibutuhkan juga harus memadai dan bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka. Akan tetapi kerajaan Usmani pasca Sulaiman tidak memiliki administrasi pemerintahan yang bagus di tambah lagi dengan pemimpinpemimpin yang berkuasa sangat lemah dan mempunyai perangai yang jelek.

  3. Kelemahan para Penguasa
      Setelah sultan Sulaiman wafat, maka terjadilah pergantian penguasa. Penguasa-penguasa tersebut memiliki kepribadian dan kepemimpinan yang lemah akibatnya pemerintahan menjadi kacau dan susah teratasi.

  4. Budaya Pungli
      Budaya ini telah meraja lela yang mengakibatkan dekadensi moral terutama dikalangan pejabat yang sedang memperebutkan kekuasaan (jabatan).

  5. Pemberontakan Tentara Jenissari
Pemberontakan Jenissari terjadi sebanyak empat kali yaitu pada tahun 1525 M, 1632 M, 1727 M dan 1826 M. Pada masa belakangan pihak Jenissari tidak lagi menerapkan prinsip seleksi dan prestasi, keberadaannya didominasi oleh keturunan dan golongan tertentu yang mengakibatkan adanya pemberontakan-pemberontakan.

  6. Merosotnya Ekonomi
Akibat peperangan yang terjadi secara terus menerus maka biaya pun semakin membengkak, sementara belanja negara pun sangat besar, sehingga perekonomian kerajaan Turki pun merosot.

 7. Terjadinya Stagnasi dalam Lapangan Ilmu dan Teknologi
Ilmu dan Teknologi selalu berjalan beriringan sehingga keduanya sangat dibutuhkan dalam kehidupan. Keraajan usmani kurang berhasil dalam pengembagan Ilmu dan Teknologi ini karena hanya mengutamakan pengembangan militernya. Kemajuan militer yang tidak diimbangi dengan kemajuan ilmu dan teknologi menyebabkan kerajaan Usmani tidak sanggup menghadapi persenjataan musuh dari Eropa yang lebih maju.


B.  FAKTOR PENYEBAB KEDATANGAN EROPA KE NEGERI MUSLIM

Faktor utama yang menarik kehadiran kekuatan-kekuatan Eropa ke negeri-negeri muslim adalah ekonomi dan politik. Kemajuan Eropa dalam bidang industri menyebabkannya membutuhkan bahan-bahan baku, di samping rempah-rempah. Mereka juga membutuhkan negeri-negeri tempat mereka dapat memasarkan hasil industri mereka itu. Untuk menunjang perekonomian tersebut, kekuatan politik diperlukan sekali. Akan tetapi, persoalan agama seringkali terlibat dalam proses politik penjajahan barat atas negeri-negeri Islam ini. Trauma perang Salib agaknya masih membekas pada sebagian orang Barat, terutama Portugis dan Spanyol, karena dua negara ini untuk jangka waktu berabad-abad berada di bawah kekuasaan Islam.


C.  FAKTOR PENYEBAB BANGKITNYA NASIONALISME DI DUNIA ISLAM

Sebagaimana telah disebutkan, benturan-benturan antara Islam dan kekuatan Eropa telah menyadarkan umat Islam bahwa, mereka memang jauh tertinggal dari Eropa. Yang pertama merasakan hal itu di antaranya Turki Usmani, karena kerajaan ini yang pertama dan utama menghadapi kekuatan Eropa. Kesadaran itu memaksa penguasa dan pejuang-pejuang Turki untuk banyak belajar dari Eropa.

Usaha yang memulihkan kembali kekuatan Islam pada umumnya (yang dikenal dengan gerakan pembaharuan) didorong oleh dua faktor yang saling mendukung, pemurnian ajaran Islam dari unsur-unsur asing yang dipandang sebagai penyebab kemunduran Islam itu dan menimba gagagsan-gagasan pembaharuan dan ilmu pengetahuan dari Barat. Yang pertama seperti gerakan Wahhabiyah yang dipelopori oleh Muhammad ibn Abd al-Wahhab (1703-1787 M) di Arabia, Syah Waliyullah (1703-1762 M) di India, dan Gerakan Sanusiyyah di Afrika Utara yang dipimpin oleh Said Muhammad Sanusi dari Aljazair. Sedangkan yang kedua, tercermin dalam pengiriman para pelajar Muslim oleh penguasa Turki Usmani dan Mesir ke negara-negara Eropa untuk menimba ilmu pengetahuan dan dilanjutkan dengan gerakan penerjemahan karya-karya Barat ke dalam bahasa Islam. Pelajar-pelajar muslim asal India juga banyak yang menuntut ilmu ke Inggris.

Gerakan pembaharuan itu dengan segera juga memasuki dunia politik, karena Islam memang tidak bisa dipisahkan dengan politik. Gagasan politik yang pertama kali muncul adalah gagasan Pan-Islamisme (persatuan Islam sedunia) yang mula-mula didengungkan oleh gerakan Wahhabiyah dan Sanusiyah. Namun, gagasan ini baru disuarakan dengan lantang oleh tokoh pemikir Islam terkenal, Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897 M).
Menurut L. Stoddart, Al-Afghanilah orang pertama yang menyadari sepenuhnya akan dominasi Barat dan bahayanya. Oleh karena itu, dia mengabdikan dirinya untuk memperingatkan dunia Islam akan hal itu dan melakukan usaha-usaha yang teliti untuk pertahanan. Umat Islam menurutnya harus meninggalkan perselisihan-perselisihan dan berjuang di bawah panji bersama. Akan tetapi, ia juga berusaha membangkitkan semangat lokal dan nasional negeri-negeri Islam. Karena itu, Al-Afghani dikenal sebagai bapak nasionalisme dalam Islam.

Semangat Pan-Islamisme yang bergelora itu mendorong Sultan Kerajaan Turki Usmani Abd Al-Hamid II (1879-1909), untuk mengundang Al-Afghani ke Istambul, ibukota kerajaan. Gagasan ini dengan cepat mendapat sambutan hangat di negeri-negeri Islam. Akan tetapi, semangat demokrasi Al-Afghani tersebut menjadi duri bagi kekuasaan sultan, sehingga Al-Afghani tidak diizinkan berbuat banyak di Istambul. Setelah itu, gagasan Pan-Islamisme dengan cepat redup, terutama setelah Turki Usmani bersama sekutunya, Jerman, kalah dalam Perang Dunia I dan kekhalifahan dihapuskan oleh Mustafa Kemal, tokoh yang justru mendukung gagasan nasionalisme, rasa kesetiaan kepada negara kebangsaan. Gagasan nasionalisme yang berasal dari Barat itu masuk ke negeri-negeri Muslim melalui persentuhan umat Islam dengan Barat yang menjajah mereka dan dipercepat oleh banyaknya pelajar muslim yang menuntut ilmu ke Eropa atau lembaga-lembaga pendidikan “Barat” yang didirikan di negeri mereka. Gagasan kebangsaan ini pada mulanya banyak mendapat tantangan dari pemuka-pemuka Islam karena dipandang tidak sejalan dengan semangat ukhuwah Islamiah. Akan tetapi, ia berkembang cepat setelah gagasan Pan-Islamisme redup.

Di Mesir, benih-benih gagasan nasionalisme tumbuh sejak masa Al-Tahtawi (1801-1873) dan Jamaluddin Al-Afghani. Tokoh pergerakan terkenal yang memperjuangkan gagasan ini di Mesir adalah Ahmad Urabi Pasha. Kalau di Mesir bangkit nasionalisme Mesir, di bagian negeri Arab lainnya lahir gagasan nasionalisme Arab yang segera menyebar dan mendapat sambutan hangat, sehingga nasionalisme itu terbentuk atas dasar kesamaan bahasa. Demikianlah yang terjadi di Mesir, Syria, Libanon, Palestina, Irak, Hijaz, Afrika Utara, Bahrein dan Kuwait. Semangat persatuan Arab itu diperkuat pula oleh usaha Barat ntuk mendirikan negara Yahudi di tengah-tengah bangsa Arab dan di negeri yang dihuni mayoritas Arab. Namun, berbeda dengan negeri-negeri yang menyuarakan aspirasi nasionalnya, bangsa Arab berada di dalam beberapa wilayah kekuasaan, bukan saja karena banyaknya kerajaan tradisional, tetapi juga dan terutama karena wilayahnya yang luas itu “dibagi-bagi” oleh penjajah Barat. Cita-cita mendirikan satu negara Arab menghadapi tantangan yang sangat berat. Paling tidak, untuk mencapai cita-cita itu, mereka harus melalui dua tahap. Pertama, memerdekakan wilayah masing-masing dari kekuasaan dari penjajah. Kedua, berusaha mendirikan negara kesatuan Arab. Pada tanggal 12 Maret 1945, mereka berhasil mendirikan Liga Arab. Tetapi, terbentuknya Liga Arab itu, belum berarti cita-cita utama berdirinya negara Arab bersatu sudah tercapai. Apalagi, ketika itu kekuasaan Barat masih tetap bercokol di sana.

Di India, sebagaimana di Turki dan Mesir, gagasan Pan-Islamisme yang dikenal dengan gerakan khilafat juga mendapat pengikut. Syed Amir Ali (1848-1928 M) adalah salah seorang pelopornya. Namun, gerakan ini segera pudar setelah usaha menghidupkan kembali khilafah yang dihapuskan Mustafa Kemal di Turki tidak mungkin lagi. Yang populer adalah gerakan nasionalisme yang diwakili oleh Partai Kongres Nasional India. Akan tetapi, gagasan nasionalisme itu segera pula ditinggalkan sebagian besar tokoh-tokoh Islam karena di dalamnya kaum Muslimin yang minoritas tertekan oleh kelompok Hindu yang mayoritas. Persatuan antara dua komunitas Hindu dan Islam sulit diwujudkan. Oleh karena itu umat Islam di anak benua India ini tidak menganut nasionalisme tetapi islamisme, yang dalam masyarakat India dikenal dengan komunalisme. Gagasan Komunalisme Islam ini disuarakan oleh Liga Muslimin yang merupakan saingan bagi Partai Kongres Nasional, dukungan mayoritas penganut agama ada sebelum Liga Muslimin berdiri, dilontarkan oleh Sayyid Ahmad Khan (1817-1898 M), kemudian mengkristal pada masa Iqbal (1876-1938 M) dan Muhammad Ali Jinnah (1876-1948 M).

Partai politik besar yang menentang penjajahan di Indonesia adalah Sarekat Islam (SI), didirikan tahun 1912 di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto, partai ini merupakan kelanjutan dari Sarekat Dagang Islam yang didirikan oleh H. Samanhudi tahun 1911. Tak lama kemudian partai-partai politik lainnya berdiri seperti Partai Nasional Indonesia (PNI) didirikan oleh Sukarno (1927), Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-baru) didirikan oleh Mohammad Hatta (1931), Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) yang menjadi partai politik tahun 1932 dipelopori oleh Mukhtar Luthfi.

Gagasan-gagasan nasionalisme dan gerakan-gerakan untuk membebaskan diri dari kekuasaan penjajah Barat yang kafir juga bangkit di negeri-negeri Islam lainnya.





























DAFTAR PUSTAKA

Harun Nasution,Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran, dan Gerakan (Jakarta; Bulan Bintang, 1988), hlm. 15.
“Philip K. Hitti, Histroy of the Arabs, (London; The Macmillan, 1974), hlm. 722
G. H. Jansen, Islam Militan, (Bandung; Pustaka, 1980), hlm. 82-84
Ahmad Syalabi, Imperium Turki Usmani, (Jakarta; Kalam mulia, 1988), hlm. 170

Tidak ada komentar: