BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setelah
tiba dan diterima penduduk Madinah ,Nabi Muhammad SAW resmi menjadi pemimpin
penduduk kota itu. Babak baru dalam sejarah islam pun dimulai.Ajaran Islam yang
berkenaan dengan kehidupan masyarakat banyak turun di Madinh. Nabi Muhammad SAW
mempunyai kedudukan bukan saja sebagai kepala Agama tetapi juga kepala Negara.
B. Rumusan Masalah
1. Pembentukan Negara Madinah
2. Perang – perang apakah yang terjadi pada masa
pemerintahan di Madinah?
3. Siapakah khulafaur rasyidun itu?
C. Tujuan pembahasan
1. Agar siswa mengetahui tentang pembentukan Negara
madinah
2. Agar siswa mengetahui perang yang terjadi pada masa
pemerintahan di madinah
3. Agar siswa mengetahui siapa saja khulafaur rasyidun
itu
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pembentukan
Negara Madinah.
Dengan
terbentuknya Negara madinah, maka kekuatan Islam semakin bertambah, dan makin
pesat pesat perkembangannya,dalam Negara madinah terdapa dasar terdapat
beberapa dasar – dasar kokoh yakni:
Pertama Pembentukan
masjid yang selain berfungsi sebagai tempat salat, juga sebagai sarana penting
untuk mempersatukan kaum muslimin, tempat musyawarah dan juga sebagai pusat
pemerintahan.
Kedua sebagai
tempat ukhuwah islamiyah, persudaraan
sesame muslim yang saat itu terbagi menjadi dua yakni muhajirin yang adalah pendatang yang hijrah dari makkah ke madinah dan anshar
yang adalah penduduk madinah yang ikut masuk islam. Apa yang dilakukan
Rasulullah ini menciptakan persaudaraan baru yakni persaudaraan berdasarkan
agama,
Ketiga
persahabatn dengan orang –orang non islam dengan perjanjian atas kebebasan dan
hak – hak terntu dalam bidang politik keagamaan, juga penjaminan keamanan.
Dalam perjanjian itu rasulullah juga menetapkan aturan dan tatatertib
umum,persamaan antar sesame manusia dalam bidang social. Perjanjiann ini
disebut konstitusi madinah.
Pada
masa ini untuk menghadapi kemungkinan – kemungkinan yang tidak diinginkan dan
juga gangguan dari musuh maka nabi sebagai kepala pemerintahan , mengatur
siasat dan membentuk pasukan tentara,umat islam diijinkan berperang dengan dua
alasan:
(1) Untuk
mempertahankan diri dan melindungi hak –hak miliknya, dan
(2) Menjaga
keselamatan dalam penyebaran kepercayaan dan mempertahankannya dari orang –
orang yang menghalanginya.
Perjanjian damai dengan berbagai kabilah
disekitar madinah juga diadakan sebagai maksud agar kedudukan madinah semakin
kuat dan aman.
B.Perang-perang yang
terjadi pada masa pemerintahan di madinah.
Pertama
perang badar, yakni perang antara kaum muslimin dengan kaum musryik quraisy
pada tanggal 8 ramadhan tahun ke-2 hijriah, nabi bersama sekitar 305 orang
bergerak kluar kota dan didaerah badar bertemu dengan pasukan quraisy yang
berjumlah sekitar 900 – 1000 orang, nabi memimpin komando perang ini dan kaum
muslim kluar sebagai pemenang, namun orang yahudi tidak senang dengan hal ini karena
memang merekan tidak sepenuh hatimenerima perjanjian yang dibuat dengan nabi
dan tak lama setelah perang itu nabi menjalin hubungan dengan beberapa suu
badui yang kuat.
Kedua
perang
uhud,kaum quraisy mekkah tidak terima dengan kekalahan mereka pada perang badar
dan akan bersumpah untuk membalas dendam. Pada tahun ke-3 H merekan berangkat
dengan membawa tidak kurang dari 3000 prajurit berkendaraan unta dan 200
tentara berkuda dipimpin Khalid bin walid,700 diantaranya memakai baju besi,
Nabi Muhammad SAW menghadapi mereka dengan kekuatan seribu orang namun 300
orang yahudi membelot dan kembeli ke madinah, nabi terus berjalan dengan 700
pasukan hingga akhirnya di buki uhud kedua pasukan bertemu dan perangpun
berkobar,pasukan islam memenangkan perang ini namun kemenangan itu beerbalik
menjadi sebuah kekalahan oleh karena pasukan islam tertarik pada harta perang
yang berserakan dan tidak menghiraukan peringatan nabi,Dalam perang ini 70
orang gugur dan nabi pun juga terkena serangan musuh. Atas penghianatan
Abdullah bin ubay dan pasukan yahudi juga dua suku yahudi madinah yang
berkomplot dengannya maka nabi memberikan hadiah berupa sebuah pengusiran atas
mereka. Kebanyakan para penghianat itu mengungsi ke khaibar dan yang lainnya yaitu bani quraizah tetap di
madinah.
Ketiga
perang
khandaq(parit) atau juga bias disebut dengan perang ahzab (sekutu dari beberapa
suku), Nama ini digunakan untuk menyebut
sebuah perang yang terjadi pada tahun ke-5 setelah Hijrah ke Madinah (Tahun 627
Masehi). Perang Khandaq adalah perang umat Islam melawan pasukan sekutu yang
terdiri dari Bangsa Quraisy, Yahudi, dan Gatafan.
Di antara
sebab peristiwa ini ialah seperti yang diceritakan oleh Ibnul Qayyim (Zadul
Ma’ad, 3/270). Beliau mengatakan:
Ketika
orang-orang Yahudi melihat kemenangan kaum musyrikin atas kaum muslimin pada
perang Uhud, dan mengetahui janji Abu Sufyan untuk memerangi muslimin pada
tahun depan (sejak peristiwa itu), berangkatlah sejumlah tokoh mereka seperti
Sallam bin Abil Huqaiq, Sallam bin Misykam, Kinanah bin Ar-Rabi’, dan lain-lain
ke Makkah menjumpai beberapa tokoh kafir Quraisy untuk menghasut mereka agar
memerangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan mereka menjamin akan
membantu dan mendukung kaum Quraisy dalam rencana itu. Quraisy pun menyambut
hasutan itu. Setelah itu, tokoh-tokoh Yahudi tadi menuju Ghathafan dan beberapa
kabilah Arab lainnya untuk menghasut mereka. Maka disambutlah hasutan itu oleh
mereka yang menerimanya. Kemudian, keluarlah Quraisy yang dipimpin Abu Sufyan
dengan 4.000 personil, diikuti Bani Salim, Bani Asad, Bani Fazarah, Bani
Asyja’, dan Bani Murrah.
Namun
musuh-musuh Allah dari umat Yahudi belum puas terhadap hasil yang dilakukan,
setelah mereka mengetahui bahwa Quraisy telah menerima ajakan mereka untuk
memerangi Rasulullah SAW dan orang-orang beriman di Madinah, mereka keluar dan
pergi ke suku Gothofan dari Qais Gailan, mengajak mereka untuk memerangi
Rasulullah SAW seperti halnya yang mereka lakukan terhadap Quraisy, dan
menyatakan bahwa mereka (Yahudi) akan selalu bersama mereka. Mereka tetap
tinggal di tempat mereka hingga suku Gotofhan menyetujuinya. Kemudian setelah
itu mereka menemui Bani Fazarah dan Bani Murrah, dan berhasil mengajak mereka
untuk memerangi Rasulullah SAW dan umat Islam di Madinah. Oleh karena itulah
pasukan begitu banyak dan peralatan begitu lengkap, suku Quraisy yang dipimpin
oleh Abu Sufyan bin Harb, suku Gotofahn di pimpin oleh Uyaynah bin Hisn bin
Hudzaifah bin Badr pada Bani Fazarah, Bani Murrah di pimpin oleh Harits bin
Auf, Bani Asyja’ di pimpin oleh Mas’ud bin Rakhilah bin Nuwairah bin Tharif bin
Samhah bin Gotofahn. Mereka bergerak dengan jumlah yang banyak dan peralatan
yang lengkap untuk satu tujuan; perang melawan Rasulullah SAW. Mereka
bersepakat untuk berkumpul di Khaibar, dan jumlah mereka dari berbagai kelompok
dan suku adalah 10 ribu pasukan, adapun pucuk pimpinan dalam perang tersebut
dipegang oleh Abu Sufyan bin Harb
Ketika
mendengar langkah-langkah yang dilakukan oleh yahudi dan berhasil mengumpulkan pasukan
dari berbagai suku Arab, Rasulullah melakukan musyawarah dengan para sahabat
untuk menghadapi pasukan yang banyak tersebut. Pada saat itu jumlah umat Islam
masih sedikit; hanya sekitar 3 ribu personil, padahal jumlah pasukan musuh
telah mencapai 10 ribu personil. Tentunya mereka beranggapan tidak ada daya dan
kekuatan untuk menghadapi mereka kecuali dengan membangun benteng sehingga
dapat menghalangi langkah musuh. Umat Islam ketika itu berhadapan dengan dua
buah pilihan yang sama beratnya. Mereka tidak mungkin menyongsong pasukan lawan
karena sama saja bunuh diri. Namun untuk bertahan pun, jumlah mereka terlampau
sedikit.
Namun
Salman Al-Farisi punya ide lain. Beliau berkata: ”Wahai Rasulullah, sewaktu
kami di Persia, jika kami diserang, kami membuat parit, alangkah baik jika kita
juga membuat Parit sehingga dapat menghalangi dari melakukan serangan”. Secara
cepat nabi saw menyutujui pendapat Salman. Maka dari itu, membuat parit menjadi
peristiwa pertama yang disaksikan oleh Arab dan umat Islam, karena mereka belum
pernah menyaksikan sebelumnya parit sebagai sarana untuk berperang. Inilah asal
muasal nama Perang Khandaq.
Pasukan
orang – orang kafir mengepung madinah dengan jalan mendirikan kemah- kemah
diluar parit hamper sebulan lamanya, dalam suasana kritis itu orang- orang
yahudi bani quraizah berhianat dan membuat kedudukan umat islam makin terjepit,
setelah sebulan lamanya mereka mengepung, tiba- tiba angina dan badai kencang
menghantam dan menerbangkan kemah- kemah dan seluruh perlengkapan pasukan
sekutu. Mereka terpaksa kembali ke negeri masing-masing tanpa hasil apapun,
sementara itu para penghianat bani quraizah dijatuhi hukuman mati.
C.Perjanjian Hudaibiyah
Pada
bulan April 628 (Dzulqa`dah 6 Hijri) Rasulullah saw. bermimpi menunaikan umrah
(kunjungan) ke Makkah dan mengajak para sahabat untuk mewujudkan mimpi
tersebut. Rasulullah pun dengan disertai 1.500 sahabat berangkat menuju Makkah,
mengenakan pakaian ihram dan membawa hewan-hewan qurban. Kaum musyrikin Quraisy
mengerahkan pasukan untuk menghalang-halangi sehingga rombongan dari Madinah
tertahan di Hudaibiyah, 20 km di sebelah barat laut Makkah.Kaum Quraisy
mengutus Suhail ibn Amr untuk berunding dengan Rasulullah. Suhail mengusulkan,
antara lain, kesepakatan genjatan senjata dan kaum Muslimin harus menunda umrah
dengan kembali ke Madinah, tetapi tahun depan diberikan kebebasan melakukan
umrah dan tinggal selama tiga hari di Makkah. Rasulullah menyetujui perjanjian
ini meskipun para sahabat banyak yang kecewa, namun tidak ada yang berani menentang
keputusan Junjungan mereka.Sepintas lalu isi perjanjian kelihatannya merugikan
kaum Muslimin, tetapi secara politis sangat menguntungkan. "Perjanjian
Hudaibiyah" merupakan salah satu tonggak penting dalam sejarah Islam sebab
untuk pertama kalinya kaum Quraisy di Makkah mengakui kedaulatan kaum Muslimin
di Madinah. Dalam perjalanan pulang ke Madinah, turunlah wahyu Allah dalam
Al-Fath 27: "Sungguh Allah akan memenuhi mimpi rasul-Nya dengan
sebenar-benarnya, bahwa kamu pasti akan memasuki Masjid al-Haram insya Allah
dengan aman. Kamu akan mencukur kepalamu atau menggunting rambut (merampungkan
umrah) dengan tidak merasa takut. Dia mengetahui apa yang tidak kamu ketahui,
dan Dia menjadikan selain itu kemenangan yang dekat.
Haji Wada' dikenal juga dengan nama
Haji Perpisahan Nabi Muhammad Saw. Beliau mengumumkan niatnya pada 25
Dzulqaidah 10 H atau setahun sebelum beliau wafat. Dari sekian banyak hikmah
dari Haji Wada' ini adalah pesan kemanusiaan yang terungkap dari khutbah
beliau. Karena Haji Wada' disebut juga Haji
Perpisahan atau Terakhir bagi Rasulullah, kaum Muslim yang berada di Arafah
kala itu, begitu seksama mendengar khutbah Rasulullah. Mereka ingin semua pesan
yang disampaikan beliau tercerap dalam hati sanubari sebagai bekal di kemudian
hari. Apalagi Rasulullah dalam kata sambutan khutbahnya mengingatkan dirinya
kemungkinan tak akan bertemu lagi dengan mereka setahun lagi.
Ada beberapa poin yang bisa diambil hikmahnya dari khutbah
Rasulullah dalam peristiwa Haji Wada'. Pesan yang yang paling pokok adalah
mendirikan dan memelihara shalat juga berpedoman hidup pada al-Qur’an dan
as-Sunnah.Selain pesan utama tersebut, dalam khutbahnya Rasulullah menyampaikan
juga beberapa pesan yang tak kalah pentingnya, di antaranya:
Menetapkan
Mekkah dan Madinah sebagai Tanah Suci. Menurut beliau, dengan sucinya tempat
ini, maka orang-orang yang berada di wilayah ini harus senantiasa dalam keadaan
suci dari segala perbuatan.
D.Khilafah Rasyidah
Khilafah Rasyidah merupakan pemimpin
umat Islam setelah Nabi Muhammad SAW wafat, yaitu pada masa pemerintahan Abu
Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, dimana sistem
pemerintahan yang diterapkan adalah pemerintahan yang demokratis.
Nabi
Muhammad SAW tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan
beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Beliau
nampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk
menentukannya. Karena itulah, tidak lama setelah beliau wafat; belum lagi
jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di balai
kota Bani Sa'idah, Madinah. Mereka memusyawarahkan siapa yang akan dipilih
menjadi pemimpin. Musyawarah itu berjalan cukup alot karena masing-masing
pihak, baik Muhajirin maupun Anshar, sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin
umat Islam. Namun, dengan semangat ukhuwah Islamiyah yang tinggi, akhirnya, Abu
Bakar terpilih. Rupanya, semangat keagamaan Abu Bakar mendapat penghargaan yang
tinggi dari umat Islam, sehingga masing-masing pihak menerima dan membaiatnya.
Sebagai
pemimpin umat Islam setelah Rasul, Abu Bakar disebut Khalifah Rasulillah
(Pengganti Rasul) yang dalam perkembangan selanjutnya disebut khalifah saja.
Khalifah adalah pemimpin yang diangkat sesudah Nabi wafat untuk menggantikan
beliau melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan.
Abu
Bakar menjadi khalifah hanya dua tahun. Pada tahun 634 M ia meninggal dunia.
Masa sesingkat itu habis untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri terutama
tantangan yang ditimbulkan oleh suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk
lagi kepada pemerintah Madinah. Mereka menganggap bahwa perjanjian yang dibuat
dengan Nabi Muhammad SAW, dengan sendirinya batal setelah Nabi wafat. Karena
itu mereka menentang Abu Bakar. Karena sikap keras kepala dan penentangan
mereka yang dapat membahayakan agama dan pemerintahan, Abu Bakar menyelesaikan
persoalan ini dengan apa yang disebut Perang Riddah (perang melawan
kemurtadan). Khalid ibn Al-Walid adalah jenderal yang banyak berjasa dalam
Perang Riddah ini.
Abu
Bakar meninggal dunia, sementara barisan depan pasukan Islam sedang mengancam
Palestina, Irak, dan kerajaan Hirah. Ia diganti oleh "tangan
kanan"nya, Umar ibn Khattab. Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya
sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian mengangkat
Umar sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya
perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam. Kebijaksanaan Abu Bakar
tersebut ternyata diterima masyarakat yang segera secara beramai-ramai membaiat
Umar. Umar menyebut dirinya Khalifah Rasulillah (pengganti dari
Rasulullah). Ia juga memperkenalkan istilah Amir al-Mu'minin (Komandan
orang-orang yang beriman).
Di
zaman Umar gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan) pertama terjadi, .
Dengan demikian, pada masa kepemimpinan Umar, wilayah kekuasaan Islam sudah
meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan
Mesir. Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar segera mengatur
administrasi negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang
terutama di Persia. Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah
propinsi: Makkah, Madinah, Syria, Jazirah Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir.
Beberapa departemen yang dipandang perlu didirikan. Pada masanya mulai diatur
dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan
dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk
menjaga keamanan dan ketertiban, jawatan kepolisian dibentuk. Demikian pula
jawatan pekerjaan umum. Umar juga mendirikan Bait al-Mal, menempa mata
uang, dan menciptakan tahun hijrah.Umar memerintah selama sepuluh tahun (13-23
H/634-644 M). Masa jabatannya berakhir dengan kematian. Dia dibunuh oleh
seorang budak dari Persia bernama Abu Lu'lu'ah..
Di
masa pemerintahan Utsman (644-655 M), Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan
bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristall berhasil direbut.
Ekspansi Islam pertama berhenti sampai di sini. Pemerintahan Usman berlangsung
selama 12 tahun, pada paruh terakhir masa kekhalifahannya muncul perasaan tidak
puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadapnya. Kepemimpinan Usman memang
sangat berbeda dengan kepemimpinan Umar. Ini mungkin karena umumnya yang lanjut
(diangkat dalam usia 70 tahun) dan sifatnya yang lemah lembut. Akhirnya pada
tahun 35 H 1655 M, Usman dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri dari
orang-orang yang kecewa itu.
Setelah
Utsman wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali ibn Abi Thalib sebagai
khalifah. Ali memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia
menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikit pun dalam
pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan
khalifah, Ali memecat para gubernur yang diangkat oleh Utsman. Dia yakin bahwa
pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik
kembali tanah yang dihadiahkan Utsman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil
pendapatannya kepada negara, dan memakai kembali sistem distribusi pajak
tahunan diantara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar.
Tidak
lama setelah itu, Ali ibn Abi Thalib menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair
dan Aisyah. Alasan mereka, Ali tidak mau menghukum para pembunuh Utsman, dan
mereka menuntut bela terhadap darah Utsman yang telah ditumpahkan secara zalim.
Ali sebenarnya ingin sekali menghindari perang. Dia mengirim surat kepada
Thalhah dan Zubair agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu
secara damai. Namun ajakan tersebut ditolak. Akhirnya, pertempuran yang dahsyat
pun berkobar. Perang ini dikenal dengan nama Perang Jamal (Unta), karena
Aisyah dalam pertempuran itu menunggang unta, dan berhasil mengalahkan
lawannya. Zubair dan Thalhah terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan
Aisyah ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
Bersamaan
dengan itu, kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali juga mengakibatkan timbulnya
perlawanan dari gubernur di Damaskus, Mu'awiyah, yang didukung oleh sejumlah
bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Setelah
berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, Ali bergerak dari
Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan
pasukan Mu'awiyah di Shiffin. Pertempuran terjadi di sini yang dikenal dengan
nama perang shiffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase), tapi
tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya
golongan ketiga, al-Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali.
Akibatnya, di ujung masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib umat Islam terpecah
menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Mu'awiyah, Syi'ah (pengikut) Ali, dan
al-Khawarij (oran-orang yang keluar dari barisan Ali). Keadaan ini tidak
menguntungkan Ali. Munculnya kelompok al-khawarij menyebabkan tentaranya
semakin lemah, sementara posisi Mu'awiyah semakin kuat. Pada tanggal 20
ramadhan 40 H (660 M), Ali terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij.
Kedudukan
Ali sebagai khalifah kemudian dijabat oleh anaknya Hasan selama beberapa bulan.
Namun, karena Hasan tentaranya lemah, sementara Mu'awiyah semakin kuat, maka
Hasan membuat perjanjian damai. Perjanjian ini dapat mempersatukan umat Islam
kembali dalam satu kepemimpinan politik, di bawah Mu'awiyah ibn Abi Sufyan. Di
sisi lain, perjanjian itu juga menyebabkan Mu'awiyah menjadi penguasa absolut
dalam Islam. Tahun 41 H (661 M), tahun persatuan itu, dikenal dalam sejarah
sebagai tahun jama'ah ('am jama'ah)! Dengan demikian berakhirlah masa yang
disebut dengan masa Khulafa'ur Rasyidin, dan dimulailah kekuasaan Bani Umayyah
dalam sejarah politik Islam. Ketika itu wilayah kekuasaan Islam sangat luas.
Ekspansi ke negeri-negeri yang sangat jauh dari pusat kekuasaannya dalam waktu
tidak lebih dari setengah abad, merupakan kemenangan menakjubkan dari suatu
bangsa yang sebelumnya tidak pernah mempunyai pengalaman politik yang memadai.
Faktor-faktor yang menyebabkan ekspansi itu demikian cepat antara lain adalah:
- Islam, disamping merupakan
ajaran yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, juga agama yang
mementingkan soal pembentukan masyarakat.
- Dalam dada para sahabat,
tertanam keyakinan tebal tentang kewajiban menyerukan ajaran-ajaran Islam
(dakwah) ke seluruh penjuru dunia. Disamping itu, suku-suku bangsa Arab
gemar berperang. Semangat dakwah dan kegemaran berperang tersebut
membentuk satu kesatuan yang padu dalam diri umat Islam.
- Bizantium dan Persia, dua
kekuatan yang menguasai Timur Tengah pada waktu itu, mulai memasuki masa
kemunduran dan kelemahan, baik karena sering terjadi peperangan antara keduanya
maupun karena persoalan-persoalan dalam negeri masing-masing.
- Pertentangan aliran agama di
wilayah Bizantium mengakibatkan hilangnya kemerdekaan beragama bagi
rakyat. Rakyat tidak senang karena pihak kerajaan memaksakan aliran yang
dianutnya..
- Islam datang ke daerah-daerah
yang dimasukinya dengan sikap simpatik dan toleran, tidak memaksa rakyat
untuk mengubah agamanya dan masuk Islam.
- Bangsa Sami di Syria dan
Palestina dan bangsa Hami di Mesir memandang bangsa Arab lebih dekat
kepada mereka daripada bangsa Eropa, Bizantium, yang memerintah mereka.
- Mesir, Syria dan Irak adalah
daerah-daerah yang kaya. Kekayaan itu membantu penguasa Islam untuk
membiayai ekspansi ke daerah yang lebih jauh.
Mulai dari
masa Abu Bakar sampai kepada Ali dinamakan periode Khilafah Rasyidah.
Para khalifahnya disebut al-Khulafa' al-Rasyidun, (khalifah-khalifah
yang mendapat petunjuk). Ciri masa ini adalah para khalifah betul-betul menurut
teladan Nabi. Selain itu, seorang khalifah pada masa khilafah Rasyidah, tidak
pernah bertindak sendiri ketika negara menghadapi kesulitan. Mereka selalu
bermusyawarah dengan pembesar-pembesar yang lain. Sedangkan khalifah-khalifah
sesudahnya sering bertindak otoriter .
Daftar Pustaka
Zadul
Ma’ad, 3/270